Miris!! Ini Penyebab Perdebatan Omnibus Law Terjadi Lagi

536 views
Mantratoto

Perdebatan Omnibus Law Dan Penundaan Klaster Tenaga Kerja Yang Pembahasannya Di Tunda Oleh Presiden Dan Ketua DPR

Berita Indonesia Terbaru, Terkini, berita terupdate, Indoharian, news, Politik, Terupdate serta Analisis dari INDOHARIAN.com, Berita Dunia Terbaru, Berita hari ini, Berita Indonesia Terbaru, Berita Terkini, berita terupdate, Indoharian, news, Politik, Terupdate serta Analisis dari INDOHARIAN.com, Perdebatan Omnibus Law

Indoharian – Miris!! Ini Penyebab Perdebatan Omnibus Law Terjadi Lagi

INDOHARIAN.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketu DPR Puan Maharani sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Perdebatan Omnibus Law, Penundaan dilakukan untuk memberikan ruang pemerintah dan DPR mendalami substansi pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah tenaga kerja hingga tengah fokus mengatasi pandemi virus corona.

Hal tersebut juga untuk memberikan kesempatan kepada kami untuk mendalami lagi substansi pada pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan, kata Jokowi melalui keterangan tertulis, Pada hari Jumat (24/4).

Saya ingin mengatakan bahwa terkait dengan Perdebatan Omnibus Law Cipta Kerja untuk klaster ketenagakerjaan, kami meminta kepada Baleg DPR segera menunda pembahasannya, ujar Puan sehari sebelum Jokowi mengeluarkan pernyataan.

Keputusan Jokowi dan permintaan Puan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR tersebut keluar sesudah masalah ketenagakerjaan di dalam RUU Ciptaker tersebut ditentang sejumlah fraksi di DPR dan beberapa elemen buruh yang mengancam akan melakukan demonstrasi besar-besar pada 30 April.

SIMAK JUGA Berita Harian Lainnya
3950 Kasus Jakarta
Roma Rekrut Henrikh
Xiaomi Rilis MIUI 12

Misalnya, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi NasDem Willy Aditya menyarankan supaya pemerintah menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan jika ingin target 100 hari pembahasan RUU Ciptaker, sesuai dengan keinginan Jokowi, tercapai.

Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi PDI-P Rieke Diah Pitaloka merekomendasikan klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Ciptaker. Menurutnya, penarikan klaster itu akan memperjelas bahwa RUU yang dinginkan pemerintah itu semata-mata untuk kemudahan investasi dan perizinan.

Pasal-pasal Kontroversial

Masalah ketenagakerjaan tertuang di Bab IV RUU Ciptaker. Isinya terkait perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sejumlah kelompok buruh pun menentang perubahan yang tertuang dalam RUU tersebut.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal misalnya menyorot kemudahan izin dalam merekrut tenaga kerja asing (TKA). Perubahan kententuan tersebut tertuang dalam Pasal 89 RUU Ciptaker.

Padahal dalam aturan saat ini pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Sekarang sudah tidak ada lagi kewajiban bagi pemberi kerja untuk memiliki izin tertulis untuk mempekerjakan TKA, kata Said.

Said juga mengkritik perubahan aturan terkait upah minimum. Ia mengatakan dalam draf RUU Ciptaker tak lagi diatur soal upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Penentuan upah minimum hanya berdasarkan upah minimum provinsi (UMP).

Selain itu, kata Said, formula perhitungan upah minimum juga menghapus indikator inflasi. Dalam RUU Ciptaker ini, perhitungan upah minimum hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah setempat.

Jadi, kalau ada kenaikan barang itu tidak dihitung lagi. Hanya melihat pertumbuhan ekonomi daerah, ini kan ada yang pertumbuhannya kecil atau bahkan minus, ujarnya.

Masalah pesangon juga dikritik kalangan buruh. Said menyatakan pesangon yang diterima pekerja jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berpotensi semakin kecil. Bahkan, hilang lantaran RUU Ciptaker membolehkan pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan dan tidak ada batasan waktu kontrak.

Kalau dalam aturan sekarang ditotal bisa 32 kali upah, kalau sekarang total mungkin hanya 18 kali, ujarnya.

Sindikasi kerap mendapat laporan dari pekerja ekonomi digital bahwa mereka menghadapi kondisi sangat rentan. Para pekerja di sektor ekonomi digital, kata dia, memiliki jam kerja yang sangat panjang dengan upah yang cenderung kecil.

Kemustahilan untuk jadi pekerja tetap, yang seharusnya pemerintah punya respons yang inovatif untuk bisa merespons masa depan kerja ini, tapi yang ada mereka respons dengan ceroboh, Perdebatan Omnibus Law, ujar dia.

Sumber: Cnnindonesia.com

Berita Dunia Terbaru Berita hari ini Berita Indonesia Terbaru Berita Terkini berita terupdate Indoharian news Perdebatan Omnibus Law Politik Terkini Terupdate serta Analisis dari INDOHARIAN.com

Author: 
    author

    Related Post

    Leave a reply