Jejak Proklamasi Sukarno: Kemayoran hingga Rengasdengklok!

733 views
Mantratoto

Jejak Proklamasi Sukarno Berawal Dari Kemayoran Hingga Rengasdengklok

Berita Dunia Terbaru, Berita hari ini, Berita Indonesia Terbaru, Berita Terkini, berita terupdate, Indoharian, news, Politik, Terupdate serta Analisis dari INDOHARIAN.com, Jejak Proklamasi

Jejak Proklamasi Sukarno: Kemayoran hingga Rengasdengklok!

 

IndoHarian – Proklamasi kemerdekaan RI yang dibacakan pada 17 agustus 1945 pukul 10 WIB tak terlaksanakan begitu saja. Banyak hal yang terjadi sebelum barisan kalimat proklamasi RI dibacakan jejak Proklamasi Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Sekarang area Monumen Proklamasi), Jakarta Pusat.

Berawal dari kegelisahan tokoh pemuda setelah mengetahui Jepang telah kalah dalam Perang Dunia II, mereka mendesak Soekarno beserta tokoh nasional lain yang sedang menyusun rencana kemerdekaan untuk menyegerakan proklamasi. Para darah muda yang tidak ingin proklamasi Indonesia sebagai ‘hadiah’ dari Jepang tersebut pun mengasingkan Soekarno serta Muhammad Hatta ke Rengasdengklokk, Karawang,  agar berubah pikiran untuk mau menyegerakan proklamasi. Peristiwa membawa Sukarno-Hatta keluar dari Jakarta tersebut kemudian menjadi ‘Penculikan ke Rengasdengklok’ dalam sejarah.

Akhirnya, sampai juga pada masa yang bersejarah ketika perumus naskah proklamasi dan pembacaan di Jakarta Pusat. Akan tetapi apakah anda tahu bahwa sejumlah tempat tepat yang menjadi saksi bisu perjuangan proklamasi kemerdekaan RI secara de facto itu bukan sebagai hadiah dari Jepang. Berikut rangkuman jejak proklamasi, meski ada beberapa tempat yang tidak sesuai dengan kondisi pada 1945 silam.

1. Bandara Kemayoran
Chairul Saleh beserta rekan menunggu di Kebun Pisang yang terletak dekat dengan Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. Mereka menunggu untuk temui langsung Sukarno dan Hatta yang baru saja tiba dari Saigon, Vietnam usai bertemu dengan Jenderal Jepang Hisaichi Terauchi, 14 Juli 1945 petang.

‘Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung bawa dari Saigon,’ ujar Chairul seperti diriwayatkan AM Hanafi dalam Menteng 31: Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45: Membangun Jembatan Dua Angkatan (1996).

Dalam kesempatan tersebut Chairul juga telah menegaskan pada Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa harus menunggu lama lagi sebab Jepang telah kalah dalam Perang Pasifik. Akan tetapi, Bung Karno hanya menjawabnya sepintas tidak ingin membicarakan hal seperti itu di kawasan lapangan terbang tersebut. Dia dan Bung Hatta kemudian pergi begitu saja.

SIMAK JUGA Berita Harian Lainnya
cerita bambu runcing
empat kriteria menteri Jokowi
Jokowi pakai baju sasak

Sekarang, 74 tahun telah berlalu, Bandara Kemayoran tidak lagi beroperasi. Lahan seluas 454 hektare tersebut sementara ini dikelola Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPKK). Perkebunan pisang yang dulu merupakan tempat Chairul beserta rekan menunggu Sukarno-Hatta juga telah lama hilang terkena deru pembangunan selama 74 tahun Indonesia merdeka.

Setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tepat pada 17 Agustus 1945, Bandara Kemayoran juga menjadi tonggak perusahaan kebandarudaraan komersial nasional. Di titik tersebutlah, pengelola bandara Indonesia, Angkasa Pura, lahir pada awal dekade 1960an.

Diceritakan, setelah kembali dari Amerika Serikat, Presiden Pertama Indonesia meminta pada menterinya agar lapangan terbang yang ada di Indonesia bisa setara dengan negara maju lain di dunia. Sebab itu, pada 1962 diterbitkanlah peraturan pemerintah yang menjadi dasar pendirian Perusahaan Negara Angkasa Pura Kemayoran.

‘Setelah melalui masa transisi selama 2 tahun, terhitung dari 20 Februari 1964 PN Angkasa Pura Kemayoran resmi telah mengambil alih secara penuh aset serta operasional Pelabuhan Udara Kemayoran Jakarta dari Pemerintah RI,’ demikian dikutip dari situs PT Angkasa Pura I.

Sekarang ini bandara tersebut hanya tinggal kenangan setelah berhenti beroperasi pada 1 Juni 1984 silam. Lokasi tersebut juga telah dijadikan sebagai cagar budaya berdasarkan dari Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 495 tahun 1993.

Sisanya yang masih ada sampai saat ini yaitu dua landasan pacu yang sekarang ini beralih fungsi jadi jalan raya (Jl Benyamin Sueb dan HBR Motik), sisa perkantoran dan hanggar, serta juga gedung menara kontrol lalu lintas udara (ATC).

Saat melakukan kunjungan kesana, cat yang telah menutupi menara tahun 1938 itu terlihat penuh dengan cat warna merah dan putih. Berbeda dari gedung bekas Bandara Kemayoran yang terlihat dari kejauhan berwarna putih, namun catnya mulai terkelupas juga kecokelatan. Pintu masuk menuju menara tidak dapat diakses umum, dan tertutup pagar berwarna putih, juga dijaga oleh petugas.

“Enggak bisa masuk sembarang orang pak, harus minta izin PPKK dulu, kirim surat minta izin,” ucap Cahya, petugas keamanan menara.

Beberapa tahun yang lalu sempat juga muncul gagasan supaya bekas bandara tersebut dijadikan sebuah museum yang terbuka untuk umum. Pada 2016 silam PT AP I juga menggelar pertemuan soal rencana tersebut. Akan tetapi, hingga saat ini rencana tersebut belum juga terwujud di atas lahan milik Sekretariat Negara tersebut.

Gedung eks Terminal Bandara Internasional yang terletak di bidang tanah sisi timur Jalan Angkasa sekarang ini tepat berseberangan dengan Mall Mega Kemayoran, membuat suasana wilayah itu ramai lalulalang kendaraan sepanjang jalan. Sementara itu, ATC terletak diberada di Jalan Radar, yang jaraknya sekitar 1,3 kilometer dari luar pagar eks Bandara Kemayoran.

Bekas lahan parkir kendaraan yang ada di bagian belakang gedung eks bandara masih bisa terlihat dari sela pagar besi yang mengelilingi bangunan itu. Terdapat juga pos jaga kosong dibagian depan gedung, serta ada beberapa puing bangunan yang tergeletak di beberapa sisi gedung tua itu.

Pada bagian luar kawasan gedung eks bandara, ada beberapa pedagang makanan dan minuman kaki lima terlihat tersusun jejer di atas trotoar, hanya berbatas pagar besi dari gedung.

Kisah Bandara Kemayoran sendiri baru ada sekitar lima tahun sebelum kemerdekaan, saat itu Belanda masih menguasai Indonesia dan sebelum diambil alih Jepang pada 1942. Pada 6 Juli 1940, pesawat DC-3 milik maskapai Belanda, KNILM, menjadi pesawat pertama yang mendarat di bandara tersebut. Dua hari setelahnya, Belanda meresmikan bandara yang telah dibangun sejak satu dekade sebelumnya itu.

2. Pertemuan Eijkmann Institute

Setelah mendapatkan jawaban tidak memuaskan hati dari Sukarno-Hatta soal usulan proklamasi kemerdekaan, pada 14 Agustus 1945 malam sekitar pukul 20.00 para pemuda berkumpul di sebuah ruangan belakang Laborotarium Eijkmann Institute, Jalan Pegangsaan Timur nomor 17, Jakarta pusat saat itu.

“Ketika malam itu ada pertemuan mahasiswa pemuda itu di kebon jarak di belakang Pegangsaan tuh ada [gedung] kedokteran, ada di situ bagian pabrik health dan bakteriologi, di belakang ada kebon untuk penelitian, cukup besar kira-kira bersebelahan dengan asrama mahasiswa kedokteran,” ucap seorang Sejarawan Rushdy Hoesein.

Sekarang Laboratorium Bakteriologi Eijkmann Institute yang pernah menjadi titik pertemuan tersebut telah dijadikan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Bagian Mikrobiologi. Akan tetapi, ada perubahan pada alamatnya menjadi Jalan Pegangsaan Timur nomor 16, sementara itu nomor 17 menjadi kampus Universitas Bung Karno (UBK).

‘Pertemuan ini dipimpin oleh Chairul Saleh. Pembicaraan-pembicaraan yang dirundingkan ialah: Bagaimana sikap yang akan diambil menghadapi situasi ketika itu dan bagaimana caranya supaya rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya di luar segala bentuk dan semangat Kemerdekaan Hadiah dan bagaimana sikap terhadap Sukarno-Hatta,’ tertulis tulisan Adam Malik dalam Riwayat Proklamasi 17 Agustus (1956).

Dari pertemuan tersebutlah telah diputuskan para pemuda akan mencoba melobi kembali Sukarno agar se-segera mungkin memproklamasikan kemerdekaan, tidak perlu lagi menunggu persetujuan ataupun penyerahan dari Jepang. Akhirnya, telah diputuskan untuk mengirim Wikana juga Darwis agar segera menyampaikan hal tersebut sekali lagi ke Sukarno di rumahnya, Jalan Pegangsaan nomor 56.

Sementara itu, Djohar Nur juga diberi perintah untuk menyusun persiapan-persiapan pelajar yang ada di asramanya, Asrama Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (Baperpi) yang terletak di Cikini 71. Djohar Nur, tulis Adam Malik, dikenal dengan sebutan pemimpin Persatuan Mahasiswa, juga wakilnya adalah Sajoko dan Sjarif Taib.

‘Selanjutnya ditetapkan akan berunding sekali lagi selengkapnya di Cikini 71 mendengarkan perslah pertemuan ketiga wakil itu, dan dari perslah yang akan ditunggu itulah nantinya, diambil keputusan juga rencana apa yang akan dijalankan,’ ucap Adam Malik.

Kembali pada titik di bekas Eijkmann Institute, tak terlihat ada tanda maupun penanda yang sengaja dibuat agar menunjukkan secara tepat mengenai lokasi pertemuan dari Chairul, Wikana dan rekan di lokasi tersebut pada 1945. Tidak hanya itu, beberapa staf dari kampus yang ditemui juga mengaku tak pernah mengetahui sejarah dari bangunan itu.

“Memang disini itu laboratorium mikrobiologi, cuma saya sendiri enggak tau kalau ada sejarahnya rapat pemuda. Enggak pernah ada monumen atau dengar info itu,” ucap salah satu staf Fakultas Kedokteran UI Bagian Mikrobiologi yang tak ingin disebutkan namanya dari penelusuran jejak proklamasi.

Sumber : cnnindonesia

Berita Dunia Terbaru Berita hari ini Berita Indonesia Terbaru Berita Terkini berita terupdate Indoharian jejak proklamasi news Politik

Author: 
    author

    Related Post

    Leave a reply