Kisah Penari Lengger Lanang Yang Merupakan Seni Lintas Gender Yang Bertahan Di Pedesaan
Indoharian – Kesenian Penari Lengger Lanang yang khas Banyumas ini masih tetap yang bisa bertahan hingga ratusan tahun. Kesenian lintas gender tersebut sudah tercatat dalam Serat Centhini yang ditulis ratusan tahun yang silam. Tarian tersebut berbeda dengan lengger pada umumnya yang dibawakan oleh penari wanita. Dalam kesenian lengger lanang, penarinya merupakan seorang pria yang membawakan gerak dan berkostum seperti seorang wanita.
Salah satu pelaku Penari Lengger Lanang yang hingga kini masih tetap eksis adalah Mas Piko. Usianya yang baru 22 tahun. Namun, di usia muda tersebut dia sudah menjadi salah satu penari yang sangat terkenal di Banyumas.
“Saya masih tetap aktif menjadi lengger, meski untuk regenerasi di kalangan muda agak terhambat. Karena pandangan terhadap anak-anak muda menganggap menjadi lengger ini adalah katrok, ndeso, padahal kalau tidak ada penerusnya kan bisa saja yang hilang,” kata Piko, Kamis (10/11/2022).
Menurutnya, menjadi seorang yang menari membutuhkan kesiapan tersendiri secara lahir dan batin. Karena stigma masyarakat umum tidak jarang menganggap menjadi pria yang berprilaku seperti wanita merupakan hal yang diluar kewajaran.
Sebab, saat yang berpentas, mereka berperilaku seperti seorang perempuan. Meski demikian, lanjutnya, hingga kini dia yang belum pernah mendapatkan perlakuan buruk dari masyarakat maupun penontonnya.
“Meski selama ini masih aman ya, tidak ada perlakuan buruk yang saya alami. Tapi menjadi menari seperti perempuan ini siap-siap dibilang ndeso karena laki-laki berdandan layaknya perempuan,” ujarnya .
Meski menjadi konsumsi masyarakat kelas bawah, kesenian tersebut hingga kini masih tetap eksis. Masih banyak masyarakat yang mengundang kesenian tersebut pada saat menggelar hajatan.
“Tanggapan masih cukup banyak, dalam sebulan saya sendiri bisa 7 sampai 8 kali,” ucap Piko. “Yang mengundang paling banyak masyarakat dari kalangan yang biasa,” tuturnya.
SIMAK JUGA Berita Harian Lainnya |
Anak Anggota Dewan Menjadi Korban Tabrak Lari |
WNI Tewas Ditembak Di Parkiran Perbelanjaan AS |
Hendra Kurniawan Membantah Video Ismail Bolong |
Dalam makalah yang disampaikan pada kegiatan Sosialisasi dan Penayangan Film Dokumenter di Kabupaten Banyumas pada tahun 2015, Ahmad Tohari menuliskan akar kesenian tersebut dipercaya berawal dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Kesuburan yang dulu dilakukan oleh masyarakat beragama Hindu.
“Jadi pada awalnya adalah sebuah ritus yang sangat sakral,” tulis Ahmad Tohari dalam makalah seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta itu.
Namun ritus ini kemudian berkembang di tengah para petani yang juga sangat memuja dewi kesuburan itu. Maka pada masa lalu tarian tersebut dipentaskan sebagai rasa syukur atas keberhasilan hasil panen.
Tohari menyebut Penari Lengger Lanang sebagai seni transgender yang keberadaannya telah disebut dalam Serat Centhini. Di 2015, Ahmad Tohari mencatat di Banyumas masih ada tujuh orang penari kesenian tersebut yang masih berusia muda.
Sumber : Detik
Berita Dunia Terbaru Berita hari ini Berita Indonesia Terbaru Berita Terkini berita terupdate Indoharian news Politik Terkini Terupdate serta Analisis dari INDOHARIAN.com