Perjalanan Kelam Mega Korupsi BLBI, Rugikan Negara Rp 138 T

474 views
Mantratoto

Mega Korupsi BLBI Yang Merugikan Negara Sebesar Rp 138 T

Berita Indonesia Terbaru, Terkini, berita terupdate, Indoharian, news, Politik, Terupdate serta Analisis dari INDOHARIAN.com, Berita Dunia Terbaru, Berita hari ini, Berita Indonesia Terbaru, Berita Terkini, berita terupdate, Indoharian, news, Politik, Terupdate serta Analisis dari INDOHARIAN.com, Mega Korupsi BLBI

Indoharian – Perjalanan Kelam Mega Korupsi BLBI, Rugikan Negara Rp 138 T

INDOHARIAN – KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) penerbitan Surat Keterangan Mega Korupsi BLBI terhadap obligor BDNI, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. Terjadi banyak sekali penyimpangan dalam penyaluran BLBI yang tak hanya menyeret para pejabat BI, tapi juga pengusaha.

Mega Korupsi BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) dari Bank Indonesia kepada bank-bank, yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia.

Dana BLBI ini juga banyak diselewengkan oleh penerimanya. Proses penyalurannya melalui banyak sekali penyimpangan.

Beberapa mantan direktur BI sudah menjadi terpidana atas kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain yaitu Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.

Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Hasil audit BPK mengatakan, dari Rp 147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan sudah merugikan negara. Penggunaan dana-dana tersebut kurang jelas.

Kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih

Untuk kasus Sjamsul dan Itjih, keduanya dijerat sebagai tersangka atas pengembangan kasus yang menjerat Syafruddin Temenggung selaku mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Negara (BPPN). Namun dalam perjalanannya, Syafruddin juga sudah dibebaskan oleh Mahkamah Agung (MA).

Pada putusannya, MA menyatakan Syafruddin terbukti sudah melakukan perbuatan penerbitan SKL BLBI. Namun, perbuatan Syafruddin tersebut tidak masuk ke dalam ranah tindak pidana.

SIMAK JUGA Berita Harian Lainnya
Serangan Di Mabes Polri : Itu Bukan Jihad!
Polda Perketat Pengamanan Gereja, Jelang Paskah!
Ngeri, Rentetan Aksi Bom Di Indonesia!

Sjamsul dan Itjih sudah kabur ke Singapura dan menetap di sana, sampai akhirnya KPK mengeluarkan SP3 pada 1 April 2021. Sebelum ini, keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada 2019 silam, lalu berstatus buron atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) lantaran tak bersikap baik saat dipanggil untuk diperiksa.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan bahwa penerbitan SP3 kasus BLBI sesuai dengan Pasal 40 Undang-Undang KPK.

“Penghentian penyidikan sebagai bagian adanya kepastian hukum sebagaimana Pasal 5 UU KPK,” kata Alex.

Sjamsul dan Itjih diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin. Perbuatan Syafruddin yang menerbitkan SKL BLBI kepada Sjamsul itu disinyalir merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.

Kerugian keuangan negara itu merupakan selisih antara kewajiban yang belum terselesaikan Sjamsul sebesar Rp 4,8 triliun dengan hasil penjualan piutang oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA) pada 2007 sebesar Rp 220 Miliar.

Menurut dari Wakil Ketua KPK Laode M Syarif pada 2019, kasus ini berawal dari BPPN dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998.

Dalam MSAA tersebut sudah disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI, dan Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai maupun berupa penyerahan aset.

Secara total, kewajiban Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI sebesar Rp 47,258 triliun. Kewajiban tersebut juga sudah dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18,85 triliun, termasuk diantaranya pinjaman kepada petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun.

“Aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan SJN (Sjamsul) seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Diligence (FDD) dan Legal Due Diligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi,” kata Syarif kala itu, Mega Korupsi BLBI.

Sumber : Liputan6

Berita Dunia Terbaru Berita hari ini Berita Indonesia Terbaru Berita Terkini berita terupdate Indoharian Mega Korupsi BLBI news Politik Terkini Terupdate serta Analisis dari INDOHARIAN.com

Author: 
    author

    Related Post

    Leave a reply